Langkah Positif Pendidikan, Gerakan Ayah Antar Anak ke Sekolah

Pendidikan anak dalam keluarga bukan hanya urusan sang ibu. Pendidikan anak adalah tanggungjawab bersama antara suami dan istri.

Oleh karena itu seorang ayah harus juga turut aktif dalam urusan pendidikan anak. Ayah bukan hanya bertugas mencari nafkah belaka.

Salah satu kegiatan yang ringan namun sangat bermakna bagi hubungan anak dan ayah adalah soal mengantar sekolah. Belakangan ini muncul istilah ‘gerakan ayah mengantar sekolah’.

Gerakan Ayah Mengantar Anak diawali  Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga atau Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Gerakan ini diharapkan mendorong keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak di lingkungan keluarga.

Gerakan ayah mengantar anak Surat Edaran Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN Nomor 7/ 2025 tentang Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah. Gerakan ini bertujuan untuk mengatasi krisis fatherless di Indonesia, yakni minimnya keterlibatan figur ayah dalam pengasuhan anak.

Fenomena ayah yang ikut mengantar anak ke sekolah memang belakangan menjadi sorotan publik. Holy Ichda Wahyuni, Pakar Pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), mengapresiasi gerakan ini sebagai langkah positif membangun keterlibatan ayah.

“Sebagai pemerhati anak, saya mengapresiasi setiap bentuk keterlibatan ayah dalam tumbuh kembang anak. Namun, kita perlu renungkan bersama, mengapa hal yang seharusnya menjadi praktik keseharian justru menjadi peristiwa ‘heboh’ yang viral?” kata Holy, Dosen PGSD UM Surabaya, dalam rilisnya kepada rri.co.id, Rabu (16/7/2025).

Holy menilai, fenomena ini menjadi cerminan masih lemahnya praktik pengasuhan ayah di banyak keluarga di Indonesia. Dalam kajian sosiologi keluarga, hal ini terkait konsep new fatherhood, yaitu peran ayah tidak hanya sebagai pencari nafkah, tetapi juga pemberi kehangatan emosional bagi anak.

“Ketika kehadiran ayah hanya sesekali dan jadi momen istimewa, maka ini tanda bahwa kesetaraan peran pengasuhan belum sepenuhnya tercapai,” katanya.

Holy juga menyoroti konstruksi sosial budaya yang masih mendikte peran ayah sebagai figur jarak jauh. Pembagian kerja gender tradisional menempatkan ibu sebagai primary caregiver, sedangkan ayah hanya berperan sebagai secondary caregiver.

“Sorotan media atau publik pada aksi ayah mengantar anak justru memperlihatkan bahwa peran natural ayah sebagai pengasuh belum terinternalisasi dalam budaya harian. Apalagi jika dilakukan karena imbauan formal, tentu ini menggelitik,” katanya.

Menurutnya, keterbatasan peran ayah juga dipengaruhi struktur kerja yang maskulin, budaya jam kerja panjang, dan stereotip sosial yang masih mengecilkan figur ayah sebagai pengasuh. Holy menegaskan pentingnya membangun kesadaran bersama di ranah keluarga, tempat kerja, hingga kebijakan publik agar peran ayah tidak hanya berhenti pada momen seremonial.

“Penghargaan memang penting, tetapi normalisasi peran ayah pengasuh jauh lebih mendasar. Menjadi ayah bukan hanya hadir di pagi hari mengantar anak, tetapi juga hadir dalam dialog batin anak, kelekatan emosi, dan penguatan karakter,” ucap Holy.

Ia berharap, gerakan ini dapat menjadi awal perubahan menuju kultur keluarga yang lebih setara, hangat, dan partisipatif, di mana ayah dan ibu sama-sama terlibat dalam cinta dan tanggung jawab membesarkan anak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *