Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Nusa Tenggara Timur (NTT) menyoroti tingginya jumlah narapidana kasus asusila di lembaga pemasyarakatan (lapas) se-NTT. Kepala Ombudsman NTT, Darius Beda Daton, menyebut bahwa 75 persen penghuni lapas di wilayah NTT merupakan pelaku tindak pidana asusila.
Fenomena ini diungkap berdasarkan kunjungan langsung ke sejumlah lapas dan rutan di NTT dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Darius, angka itu tidak berubah signifikan sejak lima tahun lalu dan justru menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.
Darius menyebut sebagian besar pelaku adalah orang-orang terdekat korban, seperti ayah, paman, atau kerabat lainnya. Hal ini menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap anak dan rendahnya kesadaran hukum di lingkungan keluarga.
“Ini bukan hanya persoalan hukum, tapi juga masalah moral dan etika yang serius. Kondisi ini memalukan dan menjadi cermin rusaknya tatanan sosial kita,” ungkap Darius dalam wawancara bersama RRI, Sabtu (5/4/2025).
Lebih lanjut, ia menilai fenomena ini perlu ditanggapi dengan kolaborasi dari berbagai pihak. Pemerintah, tokoh agama, tokoh adat, dan masyarakat harus bergandengan tangan melakukan pencegahan sejak dini.
Beberapa solusi yang ditawarkan antara lain edukasi perlindungan diri bagi anak-anak, regulasi terhadap konten media, serta kampanye antipelecehan seksual di sekolah dan ruang publik. Penegakan hukum yang tegas juga dinilai penting sebagai efek jera.
Ia juga mendorong pemasangan CCTV di area-area publik yang rawan, termasuk tempat berkumpulnya anak muda. Selain itu, anak-anak perlu diajarkan untuk tidak sepenuhnya percaya pada orang asing maupun orang dekat tanpa alasan yang jelas.
Dalam kunjungan ke lapas, Darius mengungkapkan bahwa kondisi lapas di NTT juga mengalami kelebihan kapasitas. Satu blok tahanan bisa dihuni 20–30 orang, dengan mayoritas narapidana adalah pelaku kejahatan seksual.
Darius menyesalkan bahwa nilai-nilai luhur seperti adat dan agama tidak lagi cukup membentengi masyarakat dari perilaku menyimpang. “Kita ini dikenal sebagai daerah religius dan beradat. Tapi nyatanya, norma-norma itu belum berbuah pada perubahan perilaku,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pemerintah daerah harus segera menggelar forum bersama lintas sektor. Tujuannya, untuk merumuskan langkah konkret menekan angka kekerasan seksual di NTT yang kini semakin tinggi.
Sebagai catatan, dari total 3.052 narapidana di NTT, sekitar 75 persen merupakan pelaku tindak pidana kekerasan seksual. Pelakunya berasal dari beragam latar belakang usia dan pendidikan, termasuk anak-anak hingga lansia, dan dari yang tidak berpendidikan hingga anggota aparat.
Darius berharap kasus ini tidak dibiarkan berlarut dan menjadi aib yang terus berlangsung di NTT. “Masalah ini harus menjadi tanggung jawab bersama, jangan tunggu viral baru bergerak,” tutupnya.